Refleksi ini akan dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: Untuk apa kita mengikuti upacara?
Pertanyaan yang sederhana, bukan? Lantas, bagaimana jawaban Anda? Tentu jawaban yang akan kita lontarkan akan beragam. Terlebih lagi, dalam periode memeringati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, bukan hal yang mengejutkan apabila banyak dari kita yang menjawab dengan jawaban yang diplomatis dan sok kritis, mengatas namakan nasionalisme yang dibangun mulai tanggal 17 Agustus pagi hingga runtuh lagi esok hari. Sikap skeptis ini bukanlah hal yang tanpa dasar, mengingat banyak anak muda jaman sekarang tidak lagi hafal dengan 5 Dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila.

     Tapi tujuan ditulisnya refleksi ini adalah untuk membuka setiap pasang mata, bahwa negara kita, Indonesia, sudah lama merdeka. Kini, kita dihadapkan bukan lagi dengan perang gerilya atau gencatan senjata, bukan lagi negosiasi atau mencari sekutu. Indonesia kini memiliki masalahnya sendiri, yaitu: mempertahankan kemerdekaan dan mengusahakannya untuk menjadikan Indonesia lebih baik daripada apa yang telah dirintis oleh semua yang telah bersusah mendapatkannya.

      Sebuah bahasan yang cukup nasionalis dan agaknya cukup puitis. Tulisan yang puitis ini tidak akan tepat sasaran apabila tidak dapat dipahami dengan mudah. Untuk sementara, mari kita ibaratkan Indonesia sebagai sebuah kesatuan sederhana, sebagai tubuh manusia.

      Pada awalnya, Nusantara merupakan seorang anak yang tengah berkembang dan terus belajar. Membuat budaya, bahasa, adat, norma, dan lain sebagainya. Nusantara yang awalnya tidak saling menahu antar anggotanya tubuhnya, mulai belajar dan menerima bahwa Nusantara itu adalah sebuah kesatuan yang masing-masing anggota tubuhnya memiliki keunikan dan fungsinya dalam menjalankan sebuah tubuh yang utuh. Sampai akhirnya, ia dipertemukan dengan invididu lain, penjelajah dari Barat. Mencoba bersikap baik, sedikit kecerobohan membuat Nusantara diperdaya dan terluka. Tapi tak pernah putus asa, Nusantara kembali bangkit, dengan nama baru, Indonesia.

      Indonesia dengan susah payah mengobati lukanya, memperbaiki keadaannya, dengan cara yang keras ia belajar banyak hal: bersosialisasi, rasa saling menghargai, dan yang terpenting, kesatuan dan keinginan untuk terus berjuang. Kemerdekaan menandai habisnya rasa sakit, luka yang mulai sembuh, dan kondisi yang mulai pulih.

    Untuk sebuah negeri yang dalam fase “pemulihan,” 71 tahun bukan hanya menjadi satuan waktu, tapi juga menjadi sebuah tolok ukur pencapaian. Era Internet of Things membuat segalanya menjadi lebih cepat dan secara bersamaan membuat semuanya menjadi lebih lambat. Kebutuhan akan informasi dan nafsu duniawi membuat 71 tahun terasa amat sangat lambat untuk membuat kita merasa cukup puas atas pencapaian yang ada sekarang ini, meskipun pada kenyataannya, perubahan tingkat kebutuhan semacam ini terlalu cepat sehingga kita kurang dapat mengantisipasinya dengan baik. Korupsi, kriminalitas, pergeseran nilai moral, merupakan efek samping yang nyata yang dapat kita temui sehari-hari. Tentunya hal-hal tersebut tidak dapat dibanggakan, tapi justru membuat sebuah tantangan tersendiri bagi kita: untuk pulih dalam kondisi yang seperti ini.

       Hal-hal tersebut di atas adalah sebagian contoh saja. Kembali ke perumpamaan “Indonesia sebagai manusia,” hal-hal tersebut dapat dianggap sebagai faktor internal yang memengaruhi kondisi kesehatan manusia. Malas berolahraga, konsumsi makanan yang tidak sehat, perilaku sehari-hari, merupakan faktor, yang tidak dapat kita pungkiri, sangat memengaruhi kesehatan tubuh kita. Begitu pula kasusnya untuk Indonesia, “kebiasaan-kebiasaan” ini adalah produk yang dihasilkan secara kolektif oleh Warga Negara Indonesia, kita sendiri.

      Bagian yang menarik mengenai pengaruh faktor lain dalam kesehatan seseorang adalah 75% permasalahan kesehatan secara fisik timbul akibat terjadinya gangguan pada aspek emosional/mental. Banyak orang yang mengeluhkan pusing, migrane, bahkan lumpuh meskipun secara fisik tidak ditemukan diagnosa penyakit apapun. Ini disebut sebagai somatoform, dimana pada dasarnya fisik seseorang “terasa terganggu” seolah-olah terpengaruh oleh gangguan emosional dari individu tersebut. Indonesia merupakan negara yang kaya, baik dari segi Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusianya. Tentu bukan hal yang sulit untuk mencari jalan keluar bersama terhadap suatu masalah yang sedang terjadi di Indonesia. Mentalitas nasionalisme-lah yang pada akhirnya menentukan solusi permasalahan yang dihadapi Indonesia.

      Indonesia sudah hampir tidak lagi membutuhkan perban, obat merah, dan kain pengikat. Indonesia membutuhkan perubahan yang datangnya dari dalam. Dukungan moral, kebiasaan dan pemikiran yang positif, toleransi, inovasi di segala bidang, jiwa yang tulus dan ikhlas, rasa kesatuan, dan semangat ingin berjuang akan sangat membantu Indonesia untuk pulih kembali.

       Kiranya tulisan ini dapat menjadi refleksi dan menuntun kita memperbaiki diri untuk membuat Indonesia kembali berseri.

DIRGAHAYU, JAYALAH INDONESIAKU!

(brt/ Propulsi 2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published.