Sekolah adalah fasilitas dari negara guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui sekolah ini diajarkan banyak hal seperti akademik, olahraga, interaksi sosial, dan banyak hal lainnya. Untuk menunjang berbagai tujuan sekolah, suatu negara menyusun sistem pendidikannya. Di dunia ini ada 2 sisi sistem pendidikan, sistem pendidikan biasa dimana para siswa bersekolah seperti biasa, mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, yang terkadang membuat masing-masing siswa merasa jenuh akan hal ini. Sisi lainnya adalah apa yang telah negara Finlandia lakukan dengan membalik semua hal tersebut menjadi lebih bersahabat bagi para siswanya.

            Di negara Finlandia sistem pendidikan yang diterapkan justru membuat siswa betah dan tidak jenuh. Seperti penghapusan pemberian PR, ujian nasional hanya sekali, pemberian waktu istirahat lebih panjang. Suatu negara seperti Indonesia akan bertanya “Apakah hal tersebut justru memanjakan siswa?”. Fakta mengatakan, siswa di Finlandia cenderung lebih sukses dan memahami apa yang disampaikan di bangku sekolahnya, hal tersebut semata-mata karena mereka bersekolah karena mereka enjoy bukannya dalam tekanan.

            Lantas bagaimana dengan di negara kita? Jika kita membicarakan sistem pendidikan di Indonesia maka masih banyak PR yang harus dilakukan pemerintah. Banyak siswa di Indonesia hidup dalam tekanan ujian nasional, rangking, pekerjaan rumah, ataupun ketakutan mendapat predikat “bodoh” oleh masyarakat sosial. Hal terakhir yang penulis sampaikan adalah akar masalah dari sistem pendidikan Indonesia dimana murid dikatakan “bodoh” jika mereka tidak mampu menguasai semua materi di sekolah ataupun materi wajibnya saja. Tentu hal ini adalah suatu sandiwara di negara kita. Kita berkata bahwa lukisan Van Gogh itu indah lantas mengapa kita mengatakan siswa yang pandai dalam menggambar daripada matematika dikatakan “bodoh”? Kita berkata bahwa lagu dari Bruno Mars itu indah, lantas kenapa kita menganggap siswa yang gemar bermain musik daripada fisika dikatakan “bodoh”? Seperti kata-kata mutiara dari Einstein “Semua anak adalah jenius, tapi jika anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidup dia akan menganggap dirinya bodoh.” Sudah sewajarnya pemberian predikat “bodoh” oleh masyarakat sosial ini jauh-jauh dibuang, karena sesungguhnya Tuhan telah menciptakan makhluknya sedemikian rupa dengan kelebihannya masing-masing.

            Lalu kembali pada pertanyaan pada judul dari artikel ini “haruskah kita menjadi Finlandia” mengingat banyaknya masalah di negara ini. Di media massa ataupun media sosial kita melihat banyak gelombang dari berbagai elemen masyarakat mengkritik sistem pendidikan kita dan mengatakan bahwa kita harusnya mencontoh dari apa yang telah Finlandia lakukan. Mereka berpendapat jika kita mencontoh Finlandia, Indonesia akan sukses seperti Finlandia. Namun menurut penulis sebuah gagasan untuk menjadikan Indonesia seperti Finlandia adalah gagasan yang bisa dikatakan terlambat diterapkan di Indonesia untuk saat ini. Antara Indonesia dan Finlandia memiliki perbedaan mendasar dalam hal karakter para siswanya, dimana rata-rata karakter siswa di Finlandia atau Eropa adalah pekerja keras namun sebaliknya di Indonesia yang mana semangat menuntut ilmunya masih rendah. Jika kita mengumpamakan kebijakan di Finlandia diterapkan di Indonesia, maka kemungkinan siswa di Indonesia akan merasa makin dimanjakan dan cenderung semangat untuk belajarnya semakin rendah. Bukti mendasar dari pernyataan ini adalah coba tanyakan pada teman sebangku anda, apakah setelah pelajaran dia mau me-review apa yang telah diajarkan oleh guru atau dosennya? Sayang sekali hanya sedikit yang melakukannya dan cenderung me-reviewnya saat mendekati ujian. Jadi apa yang harus diperbaiki di Indonesia sekarang bukanlah sistem pendidikannya melainkan karakter dari siswanya. Jika karakter siswa Indonesia memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi, maka sistem pendidikan apapun akan sukses di Indonesia. Hal tersebut perlu segera disikapi oleh pemerintah, karena sesungguhnya kekuatan utama dari suatu negara adalah pada pendidikannya dan kehancuran dari suatu negara dimulai dari rapuhnya pendidikannya.

(Azh/ Propulsi 2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published.