Rokok sudah menjadi barang konsumsi yang banyak di temukan di lingkungan sekitar kita. Mulai dari anak-anak hingga orang tua pun mengenalnya. Dengan kisaran harga Rp8.000 hingga Rp21.000 per bungkus, konsumen tidak keberatan membelinya. Namun, belakangan ini muncul isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi sekitar Rp50.000 per bungkus. Motif apa yang mendasari kenaikan harga tersebut? Apa dampak bagi masyarakat perokok dan produsen? Mari kita ulas dalam kajian berikut ini.

      Setiap tahun selalu ada revisi kenaikan cukai untuk rokok yang biasanya diberlakukan sejak tanggal 1 Januari. Berdasarkan UU Cukai No. 39 tahun 2007, cukai berfungsi untuk mengurangi konsumsi dan mengendalikan distribusi produk tembakau karena berdampak buruk bagi kesehatan. Namun dalam prakteknya, faktor utama yang diperhatikan dalam menetapkan tarif cukai tembakau adalah target penerimaan pemerintah tahunan. Sistem ini menjadikan harga produk tembakau menjadi lebih terjangkau sejak tahun 1980-an. Akibatnya banyak anak-anak dan masyarakat yang sebenarnya kurang mampu, dapat membeli rokok dengan mudah.

      Rokok di Indonesia tergolong murah. Berdasarkan data yang dilansir Deutsche Bank tahun 2015 dengan sampel rokok Marlboro, harga satu bungkus di Indonesia rata-rata $1.35 atau setara dengan Rp17.528. Dibadingkan dengan negara maju, misalnya Australia $18.45 atau Rp239.554; atau Amerika Serikat $13 atau Rp168.792 per bungkus. Prosentase cukai untuk rokok di Indonesia saat ini 37% (dari harga jual), masih di bawah batas maksimal UU (57%) ataupun standar global (70%).

      Berdasarkan studi dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, kemungkinan perokok akan berhenti merokok jika harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Namun tidak semata-mata menaikkan harga, pemerintah sebaiknya juga mengkaji dari sektor produksi. Benarkah dengan kenaikan harga rokok menyebabkan banyak kasus PHK dan membuat petani tembakau merugi?

      Faktanya, kurang dari 2% petani Indonesia yang terlibat dalam pertanian tembakau. Petani tersebut juga telah melakukan diversifikasi tanaman dan telibat kegiatan non-pertanian, yang artinya tidak sepenuhnya petani tembakau bergantung pada hasil tanaman tembakau.

      Jumlah tenaga kerja pabrik rokok terus berkurang. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kontribusi industri rokok terhadap total tenaga kerja sektor industri terus menurun dari 28% pada tahun 1970-an menjadi kurang dari 6% saat ini, sedangkan kontribusi pada total tenaga kerja berada di bawah 1% sejak tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena adanya proses mekanisasi dan pembaharuan mesin-mesin, yang meningkatkan tingkat efisiensi produksi.

      Pada intinya, setiap tahun harga rokok akan selalu naik. Namun, seberapapun besarnya kenaikan harga rokok, harga kesehatan jauh lebih mahal. Untuk itu, jadilah bijak, selalu jaga kesehatan, dan sayangilah lingkungan di sekitarmu. Itulah sedikit ulasan yang bisa kami berikan, bagaimana dengan tanggapan kalian?

Perbandingan Harga Rokok dengan Sampel Merk Marlboro oleh Deutsche Bank
Perbandingan Harga Rokok dengan Sampel Merk Marlboro oleh Deutsche Bank

Sumber:

Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., dan Setyonaluri, D. Ekonomi Tembakau di Indonesia. 2008. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease.

http://news.merahputih.com/nasional/2016/08/22/kenaikan-harga-rokok-tidak-mempengaruhi-phk-massal-buruh-tembakau/44981/

http://economy.okezone.com/read/2015/04/15/320/1134419/perbandingan-harga-bir-rokok-di-indonesia-relatif-murah

http://static6.businessinsider.com/image/552d54af6da811d440c02680-1200-2011/cigs-chart-corrected.png

(ram/ Propulsi 2016)